A. PENYIMPANGAN
MUTU
Penyimpangan mutu
adalah penyusutan kualitatif dimana bahan mangalami penurunan mutu
sehingga menjadi
tidak layak dikonsumsi manusia. Bahan pangan yang rusak mengalami perubahan
cita rasa,
penurunan nilai gizi atau tidak aman lagi untuk dimakan karena mengganggu
kesehatan.
Pada kondisi ini
maka makanan sudah kadaluarsa atau melewati masa simpan (shelf life).
Penyusutan
kuantitatif mengakibatkan kehilangan jumlah atau bobot hasil pertanian, dan ini
disebabkan oleh
penanganan yang kurang baik atau karena gangguan biologi (proses fisiologi,
serangan serangga
dan tikus). Susut kuantitatif dan susut kualitatif ini penting dalam
pengemasan,
dan susut
kualitatif lebih penting dari susut kuantitatif.
Pengemasan dapat
mempengaruhi mutu pangan antara lain melalui:
1. perubahan fisik
dan kimia karena migrasi zat-zat kimia dari bahan kemas (monomer plastik,
timah putih, korosi).
2. perubahan aroma
(flavor), warna, tekstur yang dipengaruhi oleh perpindahan uap air dan O2.
B. PERUBAHAN YANG TERJADI PADA BAHAN PANGAN
Bahan pangan akan
mengalami perubahan-perubahan selama penyimpanan, dan perubahan
ini dapat terjadi
baik pada bahan pangan segar maupun pada bahan pangan yang sudah mengalami
pengolahan.
Perubahan-perubahan yang terjadi dapat berupa perubahan biokimia, kimia atau
migrasi unsur-unsur
ke dalam bahan pangan.
1. Perubahan
Biokimiawi
Bahan-bahan pangan
segar (belum terolah) misalnya biji-bijian, sayuran, buah-buahan, daging
dan susu akan
mengalami perubahan biokimia setelah bahan-bahan ini dipanen atau dipisahkan
dari
induknya.
Bahan-bahan segar ini umumnya mengandung air yang cukup tinggi sehingga
memungkinkan adanya
akifitas enzim dan menyebabkan terjadinya perubahan warna, tekstur,
aroma dan nilai
gizi bahan. Contoh perubahan biokimiawi yang terjadi pada bahan pangan adalah
pencoklatan pada
buah yang memar atau terkupas kulitnya, atau daging segar yang berubah warna
menjadi hijau dan
berbau busuk.
2. Perubahan
Kimiawi dan Migrasi Unsur-Unsur
Perubahan kimiawi
yang terjadi pada bahan pangan disebabkan oleh penggunaan anioksidan,
fungisida,
plastisizer, bahan pewarna dan pestisida yang dapat bermigrasi ke dalam bahan
pangan.
Pengemasan dapat
mecegah terjadinya migrasi bahan-bahan ini ke dalam bahan pangan.
a. Keracunan Logam
Logam-logam seperti
timah, besi, timbal dan alumunium dalam jumlah yang besar akan
bersifat racun dan
berbahaya bagi kesehatan manusia. Batas maksimum kandungan logam dalam
bahan pangan
menurut FAO/WHO adalah 250 ppm untuk timah dan besi dan 1 ppm untuk timbal.
Logam-logam lain
yang mungkin mencemari bahan pangan adalah air raksa (Hg), kadmiun (Cd),
arsen (Ar),
antimoni (At), tembaga (Cu) dan seng (Zn) yang dapat berasal dari wadah dan
mesin
pengolahan atau
dari campuran bahan kemasan.
Wadah dan mesin
pengolahan yan telah mengalami korosi dapat menyebabkan pencemaran
logam ke dalam
bahan pangan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya korosif adalah
asam organik,
nitrat, oxidizing agent, atau bahan pereduksi, penyimpanan, suhu, kelembaban
dan ada tidaknya bahan pelapis (enamel).
Keracunan yang
diakibatkan logam-logam ini dapat berupa keracunan ringan atau berat
seperti mual-mual,
muntah, pusing dan keluarnya keringat dingin yang berlebihan.
b. Migrasi Plastik
Ke Dalam Bahan Pangan
Plastik dan
bahan-bahan tambahan dalam pembuatan plastik plastisizer, stabilizer dan
antioksidan dapat
bermigrasi ke dalam bahan pangan yang dikemas dengan kemasan plastik dan
mengakibatkan
keracunan. Monomer plastik yang dicurigai berbahaya bagi kesehatan manusia
adalah vinil
klorida, akrilonitril, metacrylonitril, vinilidenklorida dan styrene. Monomer
vinil klorida
dan akrilonitril
berpotensi untuk menyebabkan kanker pada manusia, karena dapat bereaksi dengan
komponen DNA yaitu
guanin dan sitosin (pada vinil klorida) sedangkana denin dapat bereaksi
dengan akrilonitril
(vinil sianida). Metabolit vinil klorida yaitu epoksi kloretilenoksida
merupakan
senyawa yang
bersifat karsinogenik. Tetapi metabolit ini hanya dapat bereaksi dengan DNA
jika
adenin tidak
berpasangan dengan sitosin.
Vinil asetat dapat
menimbulkan kanker tiroid, uterus dan hati pada hewan. Vinil klorida dan
vinil sianida
bersifat mutagenik terhadap mikroba Salmonella typhimurium. Akrilonitril dapat
membuat cacat lahir
pada tikus-tikus yang memakannya.
Monomer akrilat,
stirena dan metakrilat serta senyawa turunannya seperti vinil asetat,
polivinil klorida
(PVC), kaprolaktan, formaldehida, kresol, isosianat oragnik,
heksa-metilendiamin,
melamin,
epidiklorohidrin, bispenol dan akrilonitril dapat menyebabkan iritasi pada
saluran
pencernaan terutama
mulut, tenggorokan dan lambung.
Plastisizer seperti
ester posporik, ester ptalik, glikolik, chlorinated aromatik dan ester asam
adipatik dapat
menyebabkan iritasi. Plastisizer DBP (Dibutil Ptalat) pada PVC termigrasi cukup
banyak yaitu 55-189
mg ke dalam minyak zaitun, minyak jagung, minyak biji kapas dan minyak
kedele pada suhu
30oC selama 60 hari kontak. Plastisizer DEHA (Di 2-etilheksil adipat) pada PVC
termigrasi ke dalam
daging yang dibungkusnya (yang mengandung kadar lemak 20-90%) sebanyak
14.5-23.5 mg/dm2
pada suhu 4oC selama 72 jam.
Plastisizer yang
aman untuk kemasan bahan pangan adalah heptil ptalat, dioktil adipat,
dimetil heptil
adipat, di-N-desil adipat, benzil aktil adipat, ester dari asam sitrat, oleat
dan sitrat.
Stabilizer yang
aman digunakan adalah garam-garam kalsium, magnesium dan natrium, sedangkan
antioksidan jarang
digunakan karena bersifat karsinogenik.
Laju migrasi
monomer ke dalam bahan yang dikemas tergantung dari lingkungan.
Konsentrasi residu
vinil klorida awal 0.35 ppm termigrasi sebanyak 0.020 ppm selama 106 hari
kontak pada suhu
25oC. Monomer akrilonitril keluar dari plastik dan masuk ke dalam makanan
secara total
setelah 80 hari kontak pada suhu 40oC. Semakin tinggi suhu maka semakin banyak
monomer plastik
yang termigrasi ke dalam bahan yang dikemas. Oleh karena itu perlu penetapan
tanggal kadaluarsa
pada bahan yang dikemas dengan kemasan plastik.
Batas ambang
maksimum dari monomer yang ditoleransi keberadaannya di dalam bahan
pangan ditentukan
oleh hasil tes toksisitas (LD 50) serta jumlah makanan yang dikonsumsi/hari. Di
Belanda toleransi
maksimum yang diizinkan adalah 60 ppm migran dalam makanan atau 0.12 mg/
cm2 permukaan
plastik. Di Jerman toleransi maksimum yang diizinkan adalah 0.06 mg/cm2
lembaran plastik.
Batas toleransi untuk monomer vinil klorida £ 0.05 ppm (di Swedia 0.01 ppm).
Kantong plastik
polietilen dan polipropilen mempunyai daya toksisitas yang rendah yaitu dengan
ambang batas
maksimum 60 mg/kg bahan pangan.
Metode dan alat
yang dapat digunakan untuk mendeteksi dan menganalisa migrasi
komponen plastik
dalam bahan pangan adalah pelabelan radioaktif, termogravimetri,
spektrofotometer,
Gas Chromatography (GC), High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan Gas
Chromatography-Mass Spectrometer (GC-MS), yang dapat mendeteksi migran dengan
kadar 10-20 gram – 10-6 gram.
Selain monomer
plastik, timah putih (Sn) juga dapat bermigrasi pada makanan kaleng dengan
batas maksimum 250
mg/kg. Sn merupakan mineral yang secara alami terdapat pada bahan pangan
yaitu sebesar 1
mg/kg dan dibutuhkan oleh manusia dalam jumlah kecil. Dosis racun dari Sn
adalah
5-7 mg/kg berat
badan. Sn dapat mengkontaminasi bahan pangan melalui wadah/kaleng dan
peralatan
pengolahan.
C. KERUSAKAN
MIKROBIOLOGIS
Bahan kemasan
seperti logam, gelas dan plastik merupakan penghalang yang baik untuk
masuknya
mikroorganisme ke dalam bahan yang dikemas, tetapi penutup kemasan merupakan
sumber utama dari
kontaminasi. Kemasan yang dilipat atau dijepret atau hanya dilapisi ganda
merupakan penutup
kemasan yang tidak baik. Penyebab kontaminasi mikroorganisme pada bahan
pangan adalah :
- kontaminasi dari
udara atau air melalui lubang pada kemasan yang ditutup secara hermetis.
- Penutupan (proses
sealer) yang tidak sempurna
- Panas yang
digunakan dalam proses sealer pada film plastik tidak cukup karena sealer yang
terkontaminasi oleh
produk atau pengaturan suhu yang tidak baik.
- Kerusakan seperti
sobek atau terlipat pada bahan kemasan.
Kemasan bahan
pangan sangat mempengaruhi sterilitas atau keawetan dari bahan pangan yang
sudah
disterilisasi, diiradiasi atau dipanaskan dengan pemanasan ohmic. Permeabilitas
kemasan
terhadap gas akan
mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme, terutama terhadap
mikroorganisme yang
anaerob patogen. Untuk melindungi bahan pangan yang dikemas terhadap
kontaminasi
mikroorganisme, maka perlu dipilih jenis kemasan yang dapat melindungi bahan
dari
serangan
mikroorganisme. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih jenis
kemasan
yang baik untuk
mencegah kontaminasi mikroba adalah :
a. Sifat
perlindungannya terhadap produk dari masuknya mikroorganisme dari luar kemasan
ke dalam produk.
b. Kemungkinan
berkembang biaknya mikroorganisme di ruangan antara produk dengan
tutup (head space).
c. Serangan
mikroorganisme terhadap bahan pengemas.
D. KERUSAKAN
MEKANIS
Faktor-faktor
mekanis yang dapat merusak bahan-bahan hasil pertanian segar dan bahan
pangan olahan
adalah :
a. Stress atau
tekanan fisik, yaitu kerusakan yang diakibatkan karena jatuh atau oleh adanya
gesekan.
b. Vibrasi
(getaran), yang dapat mengakibatkan kerusakan pada bahan atau kemasan selama
dalam perjalanan
atau distribusi. Untuk menanggulanginya dapat digunakan bahan anti
getaran.
Jenis perlindungan
yang dapat diberikan kepada bahan pangan atau kemasan bahan pangan
untuk mencegah
kerusakan mekanis tergantung dari model dan jumlah tumpukan barang atau
kemasan, jenis
transportasi (darat, laut atau udara) dan jenis barang. Kemampuan kemasan untuk
melindungi bahan
yan dikemasnya dari kerusakan mekanis tergantung pada kemampuannya
terhadap kerusakan
akibat tumpukan di gudang atau pada alat transportasi, gesekan dengan alat
selama penanganan,
pecah atau patah akibat tubrukan selama penanganan atau getaran selama
transportasi.
Beberapa bahan
pangan misalnya buah-buahan yang segar, telur dan biskuit merupakan
produk yang sangat
mudah rusak dan memerlukan tingkat perlindungan yang lebih tinggi untuk
mencegah gesekan
antara bahan, seperti penggunaan kertas tissue, lembaran plastik, kertas yang
dibentuk sebagai
kemasan individu (misalnya karton untuk telur, wadah buah dan lain-lain).
Bahanbahan
pangan lain,
dilindungi dengan cara mengemasnya dengan kemasan yang kaku dan
pergerakannya
dibatasi dengan dengan kemasan plastik atau stretch/shrink film yang dapat
mengemas produk
dengan ketat.
Peti kayu atau drum
logam merupakan kemasan dengan perlindungan mekanis yang baik
Kemasan ini
sekarang sudah digantikan dengan bahan komposit yang lebih murah yang terbuat
dari
kotak serat
(fiberboard) dan polipropilen.
E. KADAR AIR DAN
GAS
Kehilangan air atau
peningkatan kadar air merupakan faktor yang penting dalam penentuan
masa simpan dari
produk pangan. Kemasan memberikan kondisi mikroklimat bagi bahan yang
dikemasnya, dan
kondisi ini ditentukan oleh tekanan uap air dari bahan pangan pada suhu
penyimpanan dan
permeabilitas kemasan. Pengendalian kadar air pada kemasan dan bahan pangan
dapat mencegah
kerusakan oleh mikroorganisme dan enzim, menurunnya nilai penampilan (tekstur)
bahan, kondensasi
di dalam kemasan yang mengakibatkan pertumbuhan mikroba atau mencegah
freezer burn pada
bahan pangan beku.
Pengaruh perubahan
kadar air pada bahan pangan ditunjukkan oleh kurva isotermi sorpsi air
yang menggambarkan
hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif
keseimbangan ruang
tempat penyimpanan bahan atau akivitas air (aw) pada suhu tertentu. Pada
umumnya kurva
isotermi sorpsi bahan pangan berbntuk sigmoid (menyerupai huruf S) dan isotermi
sorpsi ini dapat
menunjukkan pada kadar air berapa dicapai tingkat aw yang diinginkan ataupun
dihindari, serta
terjadinya perubahan-perubahan penting kandungan air yang dinyatakan dalam aw.
Bentuk kurva
isotermi sorpsi adalah khas untuk setiap bahan pangan, an daerah isotermiknya
dapat dibagi
menjadi beberapa bagian tergantung dari keadaan air di dalam bahan pangan tersebut.
Kurva isotermi
sorpsi air dibagi menjadi 3 bagian seperti terlihat pada Gambar 2.1. Daerah I
merupakan absorpsi
air yang bersifat satu lapis air (monolayer) dan berada pada RH antara 0-20%,
daerah II
menyatakan terjadinya pertambahan lapisan di atas satu lapis molekul air
(multilayer) yang
terjadi pada RH
antara 20-70%, dan daerah III merupakan daerah dimana kondensasi air pada
poripori
mulai terjadi
(kondensasi kapiler) (Van den Berg and Bruin, 1981).
Bahan pangan yang
mempunyai keseimbangan kelembaban relatif (RH) yang rendah, seperti
makanan kering,
biskuit dan snack, membutuhkan kemasan dengan permeabilitas terhadap air yang
rendah agar tidak
kehilangan kerenyahannya. Jika nilai aktivitas air (aw) dari bahan meningkat
sehingga sesuai
dengan tingat aw yang dibutuhkan oleh mikroba, maka mikroba akan tumbuh dan
bahan
menjadi rusak.
F. PERUBAHAN SUHU
Pengaruh insulasi dari kemasan ditentukan oleh
konduktivitas panas dan reflektivitas dari
kemasan. Bahan
kemasan dengan konduktivitas panas yang rendah misalnya kotak karton,
polystirene atau
poliuretan akan mengurangi pindah panas konduksi, dan bahan kemasan yang
reflektif seperti
alumunium foil akan merefleksikan panas. Pengendalian suhu penyimpanan
merupakan hal
penting untuk dapat menjaga bahan pangan dari perubahan suhu. Jika kemasan
dipanaskan misalnya
sterilisasi dalam kemasan atau makanan siap saji yang dipanaskan di dalam
microwave, maka
kemasan yang digunakan harus tahan terhadap suhu tinggi.
G. PENGARUH CAHAYA
Transmisi cahaya ke
dalam kemasan dibutuhkan agar kita dapat melihat isi dari kemasan
tersebut. Tetapi
untuk produk-produk yang sensistif terhadap cahaya, misalnya lemak yang akan
mengalami oksidasi
dengan adanya cahaya atau kerusakan riboflavin dan pigmen alami, maka harus
digunakan kemasan
yang opaq (berwarna gelap) sehingga tidak dapat dilalui oleh cahaya.
Jumlah cahaya yang
dapat diserap atau ditransmisikan tergantung pada bahan kemasan,
panjang gelombang
dan lamanya terpapar oleh cahaya. Beberapa bahan kemasan seperti polietilen
densitas rendah
(LDPE) mentransmisikan cahaya tampak (visible) dan ultraviolet, sedangkan
kemasan polivinil
klorida (PVC) mentransmisikan cahaya tampak tapi cahaya ultraviolet akan
diabsorbsi.
Perubahan yang
terjadi akibat cahaya antara lain adalah :
1. Pemudaran warna,
seperti pada daging dan saus tomat.
2. Ketengikan pada
mentega (terutama jika terdapat katalis Cu).
3. Pencoklatan pada
anggur dan jus buah-buahan
4. Perubahan bau
dan menurunnya kandungan vitamin A,D,E,K dan C, serta penyimpangan
aroma bir.
DAFTAR BACAAN
1. Syarief, R.,
S.Santausa, St.Ismayana B. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan.
Laboratorium
Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB.
2. Van den Berg,C
and S.Bruin, 1981. Water Activity and Estimation in Food System. In : L.B.
Rockland and G.
F.Stewart (ed). Water Activity : Influences on Food Quality. Academic
Press, New York.
3. Winarno, F.G.
1990. Migrasi Monomer Plastik Ke Dalam Makanan. Di dalam : S.Fardiaz
dan D.Fardiaz (ed),
Risalah Seminar Pengemasan dan Transportasi dalam Menunjang
Pengembangan
Industri, Distribusi dalam Negeri dan Ekspor Pangan. Jakarta.